Melani Arnaldi
Masalah struktur kognitif yang dialami oleh anak slow learner secara otomatis akan menyebabkan gangguan pada fungsi kognitifnya. Seorang anak slow learner bisa saja memiliki kemampuan phonem awareness yang baik, tetapi anak slow learner akan tetap mengalami gangguan biacara karena bermasalah pada pencapaian kemampuan self-awareness dan phonological awareness-nya.
Self-awareness berbeda dengan phonological awareness, keduanya memiliki peran yang penting di dalam kemampuan bahasa. Self-awareness didefinisikan sebagai bentuk kapasitas perasaan yang diperoleh dari pengetahuan abstrak untuk mempengaruhi lingkungannya. Self-awareness berkaitan dengan kemampuan anak untuk secara sadar memhami apa saja yang menjadi sasaran objek perhatian dilingkungannya. Anak yang belum memiliki self-awarness yang baik pada umumnya akan mengalami kesulitan di dalam berkomunikasi dua arah. Kondisi ini berkaitan dengan intensitas perhatian anak terhadap suatu objek yang menjadi obyek pembicaraan. Anak yang memiliki kemampuan self-awareness yang baik pada umumnya memiliki motivasi untuk berbicara dan berminat untuk berkomunikasi secara efektif.
Phonological awareness adalah proses kemampuan anak di dalam mendeteksi bunyi suara dan nada struktur dalam berbicara . Dalam hal ini tidak berkaitan dengan makna kata. Kemampuan phonological awareness pada umumnya akan terlihat mengalami masalah apabila anak sejak usia dibawah tiga tahun dikenalkan kepada dua bahasa. Anak akan terlhat sangat sulit membedakan artinya jika anak belum dapat menyebutkan kata secara benar. Oleh sebab itu anak yang mengalami slow learner terlambat di dalam kemampuan bicaranya karena anak memang sulit didalam mengasosiasikan suara dan kata yang akan disebutkan secara cepat. Anak dalam hal ini harus menyadari bahwa kemampuan berbicara membutuhkan kemampuan untuk merangkaikan kata kata sampai menghasilkan bunyi yang bermakna (Westwood dalam Kumara 2014). Kemampuan phonological awareness terbentuk secara neurologis setelah anak memiliki self awareness terhadap lingkungannya. Dalam hal ini self awareness berfungsi sebagai kesadaran anak secara kognitif terhadap lingkungannya untuk membentuk suatu komunikasi dalam menyatakan suatu hal. Kobayashi (2010, hal 235-246) dalam artikelnya yang berjudul “Self-awareness and mental perception” menggambarkan bahwa self -awareness adalah salah satu bentuk passion yang berasal dari perwujudan mental perception. Mental Perception dikaitkan dengan proses percepatan dalam melakukan proses sensoris, seperti halnya ketika anak menerima sebuah informasi secara sensoris dari pengindraan. Proses ini secara automatis membutuhkan secara cepat mengolah informasi tersebut menjadi suatu pemahaman bermakna
Seorang anak yang dapat berbicara tidak hanya harus matang secara motorik, tetapi anak juga harus memiliki kemampuan attention dan pendengaran secara baik. Kemampuan ini yang terkadang membuat kita sulit untuk membedakannya antara anak yang terlambat bicara karena belum memiliki kematangan secara kognitif atau anak mengalami keterlambatan bicara karena memang mengalami masalah karena kurang melalui self-awareness sebagai akibat masalah attachment dan interaksi sosial.
Perbedaannya dapat dijelaskan sebagai berikut kemampuan self–awareness membutuhkan kemampuan persepsi. Sehingga dibutuhkannya passion atau minat pada saat proses persepsi itu terjadi sampai terbentuknya awareness (Kobayashi, 2010). Oleh sebab itu Kobayashi akhirnya mengatakan bahwa “awareness of one’s own mental state” yang berarti bahwa awareness benar-benar terjadi karena adanya proses mental state dari dalam diri sendiri.
Apabila sudah terbentuk mental perception, secara automatis fungsi dari organ indera akan muncul secara spontan untuk memberi petunjuk adanya external object dan internal object yang disenangi (pleasure). Mental perception merupakan kemampuan kognisi yang mampu mengenali adanya bentuk objek eksternal yang disenangi dan kemudian menjadi hal penting sebagai bentuk objek yang secara internal diminati (Kobayashi, 2010).
Apabila proses ini belum terbentuk sudah automatis seorang anak akan mengalami keterlambatan biacara. Proses ini terjadi karena anak belum memiliki minat untuk mengetahui objek eksternal di sekitarnya. Minat sangat dibutuhkan sseorang anak untuk mendorongnya menyebutkan nama nama semua objek disekitarnya. Setelah terbentuk suatu minat, barulah proses kognisi terbentuk sebagai mental perception. Proses kognisi akan membentuk sejumlah pikiran (mind) yang dikarakterisasikan sebagai hasil dari latihan-latihan terdahulu sehingga membawa anak akan cepat di dalam proses bicara.
Oleh sebab itu attention berbeda dengan awareness dan tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang hanya dikaitkan dengan objek eksternal atau internal saja. Dalam hal ini kita harus melihat bahwa awareness dalam berbicara merupakan bentuk mental state yang disadari dan tidak disadari. Sepertinya Shen-Mou Hsu, George, Wyart, dan Tallon-Baudrya (2011) mengatakan bahwa attention merupakan bentuk mental perception yang disadari (conscious processing), sedangkan self -awareness lebih kepada bentuk mental perception yang tidak disadari (unconscious processing).
Secara umum, Berk, 1992 (dalam Winsler & Naglieri, 2003) menjelaskan bahwa self-awareness muncul saat seorang anak mulai spontanitas di dalam berbicara. Anak pada umumnya sudah mulai fokus sekitar usia 3-8 tahun. Pada saat ini anak sudah dapat menunjukan kemampuan verbal yang terlihat dalam kemampuan problem solving (Kronk, 1994; Duncan, 2000; Duncan & Cheyne, 1999; John-Steiner, 1992; McCafferty, 1994 dalam Winsler & Naglieri, 2003 hal. 660). Anak akan terus berusaha mengembangkan kemampuan trajectory dan internalisasi (Berk & Garvin, 1984; Bivens & Berk, 1990; Kohlberg, Yaeger, & Hjertholm, 1968; Winsler, Diaz, et al., 2000 dalam Winsler & Naglieri, 2003). Pada saat usia 4 dan 6 tahun anak akan secara berangsur-angsur mulai membentuk covert self -talk termasuk whisper, inaudible muttering, eventually silent dan innerspeech (Vygotsky 1934/1986, 1930/1978 dalam Winsler & Naglieri, 2003). Oleh sebab itu seorang anak pada akhirnya akan memiliki self-awareness untuk mengembangkan aktivitas strategi problem solving dari overt ke covert, sebagai strategi verbal problem solving sampai dewasa (Justice, 1986; Justice et al., 1997 dalam Winsler & Naglieri, 2003). .
Tedapat sejumlah contoh untuk mengenali apakah seorang anak sudah memiliki awareness terhadap dirinya maupun terhadap orang lain dengan cara melihat perkembangan strategi kognitif dalam berpikir dan berbicara. Di mana saat dewasa anak pada umumnya sudah mulai tahu bagaimana strategi dalam bicara dapat bekerja dan digunakan secara efektif seiring dengan pertambahan usia (Cavanaugh & Perlmutter, 1982 dalam Winsler & Naglieri, 2003).
Daftar Pustaka
Kobayashi, H. (2010). Self-awareness and mental perception. Journal Indian Philosophy, 38, 233-245
Kumara, A (2014) Kesulitan berbahasa pada anak. PT Kanisius Yogyakarta
Shen-Mou Hsu, N. George, V. Wyart, C. Tallon-Baudrya. (2011). Voluntary and involuntary spatial attentions interact differently with awareness. Neuropsychologia, 49(2011), 2465-2474
Winsler, A. & J. Naglieri. (2003). Overt and convert verbal problem-solving strategies: developmental trends in use, awarness, and relations with task performance in children age 5 to 17. Child Development, 74 (3), 659 – 678.